Selasa, 18 Juni 2013
Kebohongan Subsidi BBM di Negeri Sejuta Koruptor
TAJUK
Rapat Paripurna DPR
telah menyetujui anggaran perubahan (APBN-P) TA 2013. Artinya, pemerintah
diberi kewenangan untuk segera melaksanakan keputusannya menaikkan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM). Meski mendapat penolakan dari segelintir anggota dewan,
namun jumlah yang menolak kalah jauh dengan anggota dewan yang mengaku mewakili
suara rakyat namun sejatinya menjadi stempel keputusan pemerintah.
Lalu benarkah BBM itu
disubsidi menggunakan uang rakyat (APBN-red)? Dalam sebuah tulisannya,
mantan Menteri Perekonomian di era Presiden Megawati Soekarno Putri, Kwik Kian
Gie, menjelaskan secara rinci soal bagaimana subsidi BBM sebagai sebuah
kebohongan yang meracuni otak rakyat.
Dalam sebuah kesempatan,
Presiden SBY pernah mengungkapkan, bahwa semakin tinggi harga minyak mentah di
pasar internasional, maka semakin besar pula uang tunai yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah untuk pengadaan BBM. “Jika harga minyak dunia sebesar U$D 150
per barrel, maka subsidi BBM dan
listrik yang harus ditanggung APBN adalah sebesar Rp.320 triliun. Tapi kalau
harganya U$D 160, maka harganya lebih gila lagi, dan kita akan keluarkan
(subsidi) sebesar Rp.254 triliun hanya untuk BBM.” Inilah ungkapan SBY layaknya
dilansir Indopos tanggal 03 Juli 2008.
Untuk mengetahui apakah
benar APBN digunakan untuk mensubsidi BBM, maka Kwik Kian Gie juga merilis perhitungan
harga BBM diatas rata-rata prediksi pasar internasional. Karena Pemerintah
memberikan penjelasan, bahwa lebih dari Rp.4.500,- APBN dikeluarkan untuk mensubsidi
per liter BBM.
Untuk menghitung harga
BBM, maka anak Sekolah Dasar (SD) pun bisa melakukannya. Anggap saja U$D 1 = Rp.10.000,-
dan harga minyak mentah U$D 80 per barrel.
Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting), ditambah biaya pengilangan (refining), tambah biaya transportasi rata-rata ke semua pompa
bensin, maka harganya adalah U$D 10 per barrel.
Sementara 1 barrel setara dengan 159
liter. Jadi, agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual sebagai bensin
premium, maka per liternya diperlukan uang sebesar (U$D 10 : 159) x Rp.10.000,-
= Rp. 628,93,- (bulatkan saja menjadi Rp.630 per liter). Harga minyak mentah U$D
80 per barrel. Kalau dijadikan satu
liter dalam rupiah, maka hitungannya adalah : (80 x 10.000) : 159 = Rp.5.031,45,-
(bulatkan menjadi Rp.5.000,-), maka jumlah seluruhnya adalah sebesar Rp.5.000,-
ditambah Rp.630 = Rp.5.630,-. Sementara BBM dijual seharga Rp.4.500,-. Jadi
rugi sebesar Rp.1.130,- per liter (Rp.5.630,- - Rp.4.500,- = Rp.1.130,-). “Kerugian
ini yang harus ditutup oleh pemerintah dengan uang tunai dengan nama subsidi”.
Lalu kenapa harga minyak
mentah yang notabene milik rakyat Indonesia
sendiri ditentukan oleh orang asing (negara lain), yakni sebesar Rp.3.870,- per
liter (Rp.4.500,- - Rp.630,- = Rp.3.870,-)?
Ya, inilah buah dari perbuatan para penguasa yang menghamba diri kepada
rentenir global. Meraka tak lagi segan apalagi memiliki rasa malu untuk menjual
Sumber Daya Alam (SDA) milik rakyat kepada gerombolan kapitalis asing.
Undang-Undang No.22
tahun 2001 pasal 28 ayat 2, “Harga Bahan
Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat
dan wajar”. “Persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran yang
dicatat dan dipadukan dengan rapi, di mana lagi kalau tidak di New York Mercantile Exchange atau
disingkat NYMEX? Karena itulah harga ditentukan
di sana dan dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga pokok”.
Lantaran adanya dugaan
kuat bahwa dalam pembuatan UU No.22 Tahun 2001 terdapat campur tangan dari pihak
asing, maka Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU No.22 Tahun 2001 bertentangan
dengan konstitusi. Putusan MK bernomor 002/PUU-I/2003 menyatakan, bahwa Pasal
28 ayat (2) yang berbunyi, “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” dari Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD)
Republik Indonesia”.
Atas putusan itu,
pemerintah menanggapinya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.36 Tahun
2004, pasal 27 ayat (1). Namun bunyinya adalah sebagai berikut, “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, kecuali
Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Bisa jadi, hal itulah
yang membuat pemerintah terus mengadopsi istilah “subsidi”, karena yang diacu
adalah harga yang ditentukan oleh “NYMEX”.
Lalu apakah keputusan
yang dinamakan “menghapus subsidi” itu bertentangan dengan UUD Republik
Indonesia ?
Ya, benar sekali. Apalagi masih saja dikatakan, bahwa subsidi sama dengan
uang tunai yang dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi
menyesatkan. Uang tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah tidak ada, karena
milik bangsa Indonesia yang terdapat di bawah perut bumi wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Kwik Kian Gie bahkan tidak sungkan untuk menyatakan
pendapatnya, bahwa menurutnya, Ruh UU
No.22 Tahun 2001 memaksa Rakyat Indonesia terbiasa membayar bensin dengan harga
internasional. Kalau sudah begitu, maka perusahaan asing bisa membuka pompa
bensin dan mendapat untung besar dari konsumen bensin di Indonesia. Karena itu
kita sudah dengan mudah menjumpai Shell, Petronas, dan Chevron.
Kembali kepada harga.
Jika tidak ditentukan oleh NYMEX,
apakah BBM harus gratis, sehingga yang harus diganti oleh konsumen hanyalah
berupa biaya tunai yang sebesar Rp.630,- per liternya?
Tentu saja tidak. Karena
tidak pernah pemerintah memberlakukan itu dan penyusun pasal 33 UUD kita juga,
tidak pernah berpikir seperti itu. Sebelum terbitnya UU No.22 Tahun 2001 Tentang
Migas, pemerintah menentukan harga atas dasar kepatutan, daya beli masyarakat
dan nilai strategisnya. Sikap dan keputusan seperti itu yang dianggap sebagai
perwujudan dari pasal 33 UUD 1945, yang antara lain berbunyi, ”Barang yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tentu dengan
harga Rp.2.700,- untuk premium, harga minyak mentahnya tidak dihargai nol,
tetapi Rp.2.070,- per liter (Rp.2.700,- - Rp.630,- = Rp.2.070,-). Tapi hal itu tidak
diterima oleh pemerintah dan harus disamakan dengan harga NYMEX yang ketika itu U$D 60, atau setara Rp.600.000,- per barrel (Rp.3.774,- (Rp.600.000,- : 159)
per liter. Maka ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp.630,- menjadi sebesar
Rp.4.404,- yang lalu dibulatkan menjadi sebesar Rp. 4.500,-.
Dan karena sekarang harga
sudah naik lagi menjadi U$D 80 per barrel,
maka pemerintah kembali tidak terima lagi, karena maunya yang menentukan
harga adalah NYMEX, bukan bangsanya
sendiri. Dalam benaknya, pemerintah maunya dinaikkan sampai ekivalen dengan harga minyak mentah dunia
yang sebesar U$D 80 per barrel,
sehingga harga bensin premium menjadi sekitar sebesar Rp.5.660,-, yakni harga
minyak mentah : U$D 80 x Rp.10.000,- = Rp.800.000,- per barrel. Per liternya Rp.800.000,- : 159 Liter = Rp.5.031,-,
ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp.630,- = Rp.5.660,-. Karena tidak
berani, maka konsumen dipaksa membeli Pertamax yang komponen harga minyak
mentahnya sudah sama dengan NYMEX.
Jika perhitungan diatas
rata-rata nilai tukar rupiah ini benar, maka pertanyaannya adalah, “kemana
perginya uang rakyat yang katanya digunakan untuk subsidi BBM tersebut ???”
Semoga saja uang rakyat itu tidak menjadi bagian dari bahan “bancakan” bagi sejuta koruptor.
Dan inilah komposisi
fraksi di DPR RI yang setuju dan menolak kenaikan harga BBM dan pemberian
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Fraksi yang setuju terdiri atas
Fraksi Demokrat dengan 143 suara, Fraksi Golkar dengan 98 suara, Fraksi PAN 40
suara, Fraksi PPP 34 suara, dan Fraksi PKB dengan 23 suara. Sementara fraksi
yang menolak terdiri atas Fraksi PDI-P dengan 91 suara, Fraksi PKS 51 suara,
Fraksi Gerindra 25 suara, dan Fraksi Hanura 14 suara.
Akhirnya, “Jika
tidak ingin termasuk kedalam orang-orang yang ingkar dan merugi, maka jangan memilih
calon pemimpin dan calon anggota parlemen yang ingkar terhadap rakyat”.
(Redaksi)*
Oleh: Redaksi,
Di olah dari tulisan Kwik Kian Gie
berjudul “BBM Disubsidi Adalah Omong Kosong”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berita Populer
-
Pemerintahan SBY Dituding Tidak Serius Tangani Kemiskinan Jakarta_Barakindo - Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kem...
-
TAK bisa dipungkiri, jika selama ini pesona kawasan wisata di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) identik dengan keindahan alam dan kawasa...
-
Jakarta_Barakindo - Lagi-lagi korupsi disekital lingkaran Istana dan Cikeas menjadi sorotan utama publik di tanah air. Kali ini yang diba...
-
JATENG_BARAKINDO - Barisan Ansor Serbaguna (Banser) se-Eks Karesidenan Banyumas, menggelar Apel Akbar di Alun-alun Cilacap, Jawa Tengah,...
-
Serang_Barakindo - Lantaran intensitas hujan yang cukup tinggi dan buruknya drainase, membuat jalan raya Letnan Jidun, Kepandean, Kota S...
-
Mulai Beras, Daging, Migas, Bawang Hingga Kedelai Tajuk MESKI perputaran roda ekonomi bangsa ini terkadang menunjukan tren positif...
0 komentar:
Posting Komentar