Jumat, 19 Juli 2013

Rombak Tata Niaga Impor Demi Kedaulatan Pangan

Analisis Oleh: Bonang
TATA niaga impor bahan pangan yang ada saat ini, telah membuat ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, sehingga sangat rentan terhadap aksi spekulasi dan kartel. Karenanya, tata niaga impor pangan nasional harus segera dirombak.

Neraca pangan nasional saat ini tidak lagi seimbang. Hal itu disebabkan karena tidak berimbangnya antara permintaan dan penawaran (penawaran kurang, permintaan banyak-Red). Dari catatan yang ada, total potensi kartel akibat ketidakseimbangan itu mencapai Rp.11,34 triliun. Nilai itu merupakan akumulasi dari enam komoditas strategis yang terdiri atas daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras. Tentu saja nilai potensi kartel itu belum termasuk komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan.

Adapun rincian perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel, terdiri atas kebutuhan terhadap daging sapi yang mencapai 340 ribu ton, yang nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp.340 miliar. Kemudian kebutuhan daging ayam yang mencapai 1,4 juta ton dengan nilai kartel mencapai Rp.1,4 triliun, dan kebutuhan gula sebanyak 4,6 juta ton dengan nilai kartel yang diperkirakan mencapai Rp.4,6 triliun.

Selanjutnya, kebutuhan atas kedelai yang mencapai 1,6 juta ton dengan nilai kartel yang mencapai Rp.1,6 triliun, kebutuhan jagung 2,2 juta ton dengan nilai kartel yang mencapai Rp.2,2 triliun, dan kebutuah beras impor sebanyak 1,2 juta ton dengan nilai kartel yang diperkirakan mencapai angka Rp.1,2 triliun.

Gambaran seperti itu terjadi, lantaran penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah, mulai dari aspek produksi, distribusi dan perdagangannya. Pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah masih sangat sentralistis dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang tidak ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) yang sejatinya lebih mengetahui tentang kebutuhan daerahnya.

Selain itu, kontrol DPR terhadap pangan juga masih dipandang lemah. DPR dianggap oleh para enokom tidak bisa memberikan sanksi kepada kementerian yang tidak mampu menjaga kenaikan pangan yang berdampak ke rakyat. Padahal, sanksi itu bisa dikenakan dengan mengurangi alokasi anggaran kepada kementerian terkait.

Tidak hanya itu, tidak adanya logistik pangan juga turut menyebabkan persoalan pangan nasional menjadi semakin pelik. Akibatnya, setiap kebijakan yang dikeluarkan Kemendag dan Kementan cenderung spekulatif, dan pada dilirannya, data tentang pangan tidak bisa tepat dan akurat.

Jadi wajar saja jika Presiden SBY marah terhadap Kemendag dan Kementan karena tidak mampu mengatur pangan nasional yang juga kerap kali terjadi kelangkaan.

Harapan, Menko Perekonomian bisa merombak tata niaga pangan ke arah yang tepat, teruntama untuk komoditas pangan yang strategis, seperti gula konsumsi (rafinasi), serta perlunya membuka pabrik-pabrik baru untuk kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih.

Kedaulatan Pangan Adalah Martabat Bangsa !!!! ***

Penulis adalah: Koordinator Nasional Protanikita

0 komentar:

Berita Populer

Kolom Iklan


Total Tayangan Halaman

Pengunjung Danil Barak

free webpage hit counter