Senin, 12 Agustus 2013

Tanggapan Atas Tulisan MTH

“Kesempatan Nasution Kudeta Soekarno”
TULISAN M.Hatta Taliwang, Direktur Eksekutif Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta yang berjudul “Kesempatan Nasution Kudeta Soekarno” ternyata mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai elemen bangsa. Berikut ini berbagai tanggapan yang masuk tersebut;

Tanggapan Prof.Dr.IM. “Kalau saya pelajari tentang Pak Nas (Nasution), beliau memang tidak pernah ada niat untuk mengkudeta, karena beliau orangnya konstitusionalis. Karena itu selalu kalah sama Soekarno dan Soeharto yg sangat lihai bermain seputar kekuasaan.

Tanggapan Tokoh, mantan Ajudan Bung Karno. “Sesudah berhasilnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955, nama Bung Karno sudah mendunia, dan masuk menjadi tokoh dunia yang ke-3. Kudeta terhadap Bung Karno akan menggoyahkan posisi Republik Indonesia (RI) dalam peta politik dunia. Nasution yang Jendral non Jawa harus berhitung 100 kali untuk melakukan kudeta saat itu”.

Tanggapan Pengamat Intelijen. “Nasution tidak berani merebut kekuasaan dari tangan Soekarno, karena kendali pasukan berada di Ex-Peta dan Operasi Intelijen Militer berada dibawah kendali Zulkifli Lubis”.

Tanggapan Aktivis 77/78. “Nasution tidak akan berani kudeta, karena keberaniannya tidak cukup. Itu sama dengan Wiranto yang sudah mendapat surat semacam Supersemar waktu 1998, juga sama dengan Prabowo waktu 13-14 Mei 1998 saat sudah terjadi bakar-bakaran di Jakarta,Solo dll, sudah ada pengerahan orang-orang berambut cepak untuk mengawali pembakaran-pembakaran, dan Prabowo secara langsung atau tidak langsung membawahi seluruh pasukan Kostrad, Kopassus, Kodam Jaya beserta seluruh panser dan tank-tank di Jakarta dan sekitarnya, Soeharto diluar negeri tapi tidak berani juga”.

Tanggapan Tokoh Perempuan. “Nasution taat azas dan mungkin punya pendirian dan keyakinan sendiri. Nasution tidak punya agenda untuk mengambil alih kekuasaan, karena dia loyal dan tidak salah menggunakan kepercayaan”.

Tanggapan Akademisi. “TNI menganut azas “komunalisme” yang ketat, yaitu “esprit de corps” sebagai “morale of a group”. Sekalipun individu Nasution sebagai KSAD mampu melakukan kudeta karena tersedianya ruang, tapi tidak mampu ia lakukan karena moral grup. Satu-satunya yg dilakukan TNI adalah “soft” kudeta seperti yang banyak pihak simpulkan tentang peran Soeharto terhadap Soekarno”.
Sama seperti Fadli Zon, ”Prabowo bisa saja mengkudeta militer karena sebagai pangkostrad memegang tentara tempur, tetapi tidak dilakukan, karena jiwa nasionalis dan demokratis Prabowo.”
Hanura juga bicara seperti itu, ”Wiranto tahun 1998 besar peluang untuk bisa mengambil alih kekuasaan sebagai Panglima ABRI, tetapi tidak dilakukan, karena jiwa nasionalis dan demokratisnya Wiranto.”

Kesempatan Kudeta

Sebelumnya, M Hatta Taliwang menulis, bahwa banyak yang tidak membaca sejarah dengan cermat dan menuduh Kol AH Nasution dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai upaya kudeta terhadap Presiden Soekarno. Padahal yang benar adalah upaya 18 Pamen Tentara dipimpin Nasution sebagai KSAD meminta Soekarno membubarkan Parlemen, karena Parlemen terlalu jauh mencampuri urusan internal tentara. (http://iepsh.org/peristiwa-17-oktober-1952-dan-tersingkirnya-ah-nasution/)
Justru peluang besar Nasution mengkudeta Soekarno terjadi tahun 1958, karena ada beberapa alasan yang memungkinkan hal itu terjadi, diantaranya pada tahun 1958, dimana musim kudeta berlangsung di Asia/Afrika (Irak, Pakistan, Birma, Thailand dan Sudan). Hal itu menjadi perhatian bagi kaum militer dan politisi di Indonesia. Kedua, karena di internal TNI cukup banyak desakan kepada Nasution untuk melakukan kudeta. Bahkan ada politisi yang mendesak demikian. Ketiga, karena pada saat itu sebagai KSAD, Nasution memegang kekuasaan darurat perang (SOB).

Selain itu, yang ke-empat adalah karena secara psiklogis TNI sedang “harum namanya” karena telah berhasil secara strategis menumpas pembrontakan di Sumatera dan Sulawesi. Alasan yang kelima adalah karena peristiwa/situasi politik diibukota pada saat itu yang memungkinkan masyarakat mendukungnya. Keenam, pada saat itu Panglima AD di daerah sedang kompak mendukung kepemimpinan Nasution (bahkan sukses mendesak kembali ke UUD 45 dengan Dekrit Presiden). Ketujuh, Presiden Soekarno tahun itu telah memberikan surat kuasa penuh kepada Nadution untuk bertindak atas nama Presiden melakukan pengamanan bangsa dan negara, kalau Presiden pergi ke LN dan lazimnya kunjungan itu dilakukan sampai satu setengah bulan lamanya. Dengan kesempatan seperti itu, Nasution sebenarnya sangat gampang merebut kekuasaan dari Soekarno. Tapi mengapa tidak dilakukan?


“Saya telah mengajarkan kepada perwira-perwira, bahwa suatu kup (kudeta) akan membuka kesempatan kup kup berikutnya. Saya tidak mengutamakan kekuasaan, tapi mementingkan tertegaknya prinsip-prinsip kenegaraan demi stabilitas politik negara. Dalam soal ini, telah jadi pengalaman saya bahwa sejak masa perang kemerdekaan, dimana teori Clausewitz adalah benar. Namun saya menolak tafsiran Barat yg mengutamakan pemisahan. Saya cenderung pada tafsiran Timur. Yang membedakannya lebih mementingkan bahwa strategi politik, militer, ekonomi,kultural, haruslah berinduk pada “politik besar” yang saya sebut politik dalam huruf besar (POLITIK), bukan sekedar menurut horizon politician tapi ialah menurut horizon negarawan.” (Redaksi)-(Sumber: IEPSH)*

0 komentar:

Berita Populer

Kolom Iklan


Total Tayangan Halaman

Pengunjung Danil Barak

free webpage hit counter